Senin, 21 Februari 2011

Participatory Action Research Berbasis Agama: Mencari Solusi Model Pengabdian Pada Masyarakat Uuntuk PTAI

PENDAHULUAN Salah satu fungsi Perguruan Tinggi dalam Tridharmanya adalah melaksanakan pengabdian kepada masyarakat. Dalam melaksanakan fungsinya ini, perguruan tinggi yang notabene sebagai sebuah lembaga akademik dan pengembangan ilmu selalu mencoba untuk mencari sosok pengabdian kepada masyarakat yang betul-betul akuntabel dari sisi metodologis dan pragmatisnya.
Pengabdian kepada masyarakat yang akuntabel dari sisi metodologis menjadi keniscayaan sebagai trade mark perguruan tinggi. Dalam hal ini sebuah pengabdian kepada masyarakat dalam bentuknya yang tertentu dengan segala pendekatan dan paradigma yang mendasarinya harus mampu memberi pertanggungjawaban akademik mulai dari koherensi logis dalam bangunannya, validitas dan reliabilitas metode dan lainnya.
Akan tetapi di sisi lain akuntabilitas pragmatis pengabdian masyarakat menjadi penting. Pengabdian kepada masyarakat dalam bentuknya yang tertentu juga harus mampu memberikan jawaban kongkrit kepada masyarakat sebagai pengguna/sasaran pengabdian tersebut. Tidak dapat dirasakannya asas kebermanfaatan dari sebuah sosok pengabdian kepada masyarakat dapat menyebabkan hilangnya nilai guna dan tidak tercapainya telos dari pengabdian itu sendiri.
Oleh sebab itu pencarian dan pengujian berbagai bentuk pengabdian kepada masyarakat merupakan keniscayaan bagi sebuah perguruan tinggi. Pencarian terus menerus dan pengujian terus menerus akan melahirkan sosok pengabdian kepada masyarakat yang ideal dan sesuai dengan karakter basis ilmu masing-masing perguruan tinggi serta berdaya guna dan berhasil guna bagi masyarakat.
Tulisan tentang Partiocipatory Action Research (PAR) untuk keberagamaan (sebut saja PARTICIPATORY ACTION RESEARCH BERBASIS AGAMA) ini hanyalah sekelumit wujud aktualisasi fungsi perguruan tinggi tersebut. PARTICIPATORY ACTION RESEARCH BERBASIS AGAMA bukan sebagai pengganti dari KKN BKK yang ada di STAIN Kudus. PARTICIPATORY ACTION RESEARCH BERBASIS AGAMA dapat diposisikan sebagai salah satu pendekatan yang dapat dipakai di dalam KKN BKK. Pendekatan PAR dalam KKN BKK ini menemukan signifikansinya pada penentuan locus, cara penyelesaian problem locus dan yang paling penting adalah hubungan antara pelaku KKN dengan masyarakat dan atau locus. Oleh karena itu tulisan ini kurang lebihnya akan membahas signifikansi PARTICIPATORY ACTION RESEARCH BERBASIS AGAMA dari tiga aspek tersebut.

II. MENGAPA PARTICIPATORY ACTION RESEARCH BERBASIS AGAMA?
Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan PAR? Untuk menjawab pertanyaan ini dengan akurat cukup sulit, karena minimnya referensi tentang PAR itu sendiri dan perbedaan pandangan yang muncul tentangnya. Misalnya definisi yang diberikan McCutcheon dan Jung (1990:148) PAR adalah suatu penelitian yang sistematik, bersifat kolektif, kolaboratif, self reflective, kritis dan dilaksanakan oleh para partisipan dalam penelitian. Menurut Kemmis dan McTaggert (1990:5) PAR adalah suatu bentuk penelitian self reflective secara kolektif yang dilaksanakan oleh partisipan dalam situasi social ubntuk meningkatkan rasionalitas dan keadilan di dalam praktik-praktik social dan pendidikan, serta pemahaman mereka tebntang praktik-praktik dan situasi-situasi tersebut di mana praktik-praktik ini dilaksanakan. Pengertian lain yang cukup membantu diberikan oleh Mckernan (1991:4) yang mengutip Rapport 1970:499) bahwa PAR bertujuan untuk menyumbang kepada perhatian praktis dari masyarakat di dalam situasi problematic langsung dan kepada tujuan-tujuan ilmu-ilmu social melalui kerjasama di dalam satu satuan kerangka etis yang saling dapat diterima.
Dari tiga pengertian di atas paling tidak ada empat karakter dasar di dalam PAR. Empat karakter dasar tersebut adalah: pemberdayaan partisipan, kolaborasi partisipatif, mendapatkan pengetahuan, dan perubahan social. PARTICIPATORY ACTION RESEARCH BERBASIS AGAMA dengan demikian merupakan pendekatan yang menekankan aktfitasnya pada empat karakter tersebut, tetapi menempatkan semua karakter itu dalam lingkup keberagamaan baik lapis individu maupun social dalam rangka merealisasikan misi Agama Islam yakni menciptakan rohmah bagi semesta alam.
PARTICIPATORY ACTION RESEARCH BERBASIS AGAMA menemukan relevansinya dengan misi agama islam itu sendiri. Islam sebenarnya mimiliki kualifikasi sebagai agama pengembangan dan pemberdayaan manusia dan PAR adalah salah satu pendekatan akademik di bidang pengembangan dan pemberdayaan. Oleh karena itu merupakan keniscayaan ilmiyah apabila PAR dijadikan sebagai salah satu alternative pendekatan dalam pengembangan dan pemberdayaan masyarakat muslim.
Bagimana posisi PARTICIPATORY ACTION RESEARCH BERBASIS AGAMA ini dalam struktur desain KKN-BKK? Untuk melihat masalah ini secara jernih tampaknya perlu untuk melihat karakter dasar di dalam desain KKN-BKK. Di dalam KKN-BKK paling tidak ada empat karakter dasar: 1) perubahan social/individu. 2) pemberdayaan potensi agama. 3) mendapatkan pengetahuan dan 4) therapist - client communication. Karakter pertama membuat KKN-BKK berorientasi pada produk, karakter kedua cukup unik tetapi humanis karena hampir semua manusia beragama. Karakter ketiga jelas berorientasi pada penemuan-penemuan dan penghalusan teori-teori. Dan karakter keempat menunjukkan bagaimana hubungan antara peneliti dengan masyarakat atau individu adalah hubungan antara terapis (dokter) dengan client (pasien) dimana client dianggap tidak memiliki pengetahuan tentang apa yang dialaminuya, sementara therapist- lah yang paling mengetahui tentang masalah yang ada. Maka karakter keempat ini menempatkan locus pada posisi pasif dalam proses pemberdayaan dan pengembangan. Dengan karakter yang seperti ini, seringkali kesulitan-kesulitan baru muncul pada tahap aksi. Hal ini disebabkan problem locus sebagai hasil diagnosis terhadap gejala-gejala yang muncul hanya disadari oleh peneliti bukan oleh locus KKN-BKK itu sendiri.
Untuk menjembatani kesulitan-kesulitan tersebut, maka PARTICIPATORY ACTION RESEARCH BERBASIS AGAMA dapat dijadikan sebagai salah satu jembatan itu. Bagaimana? Di dalam PARTICIPATORY ACTION RESEARCH BERBASIS AGAMA ada karakter yang dapat mengisi kelemahan pada tahap ini, yaitu pemberdayaan partisipan dan kolaborasi partisipatif. Dua karakter ini tidak terdapat di dalam KKN-BKK. Dua karakter PARTICIPATORY ACTION RESEARCH BERBASIS AGAMA ini menempatkan locus pada posisi sejajar dengan peneliti, locus disamping sebagai client juga sebagai terapisnya sekaligus. Locus bersama-sama dengan peneliti mencari data-data dan gejala-gejala sebagai dasar diagnosis, kemudia menentukan the problem untuk disepakati sebagai masalah yang harus diselesaikan.
Ada dua manfaat dengan adanya karakter seperti ini. Pertama, perolehan pengetahuan bukan hanya pada peneliti tetapi juga pada locus. Kedua, ketika sampai pada tataran aksi, keterlibatan locus tidak pasif tetapi aktif, karena ia juga menyadari adanya masalah. Sehingga dengan begitu locus akan lebih sadar dan aktif dalam melaksanakan langkah-langkah penyelesaian problem yang telah disepakati.
Manfaat yang pertama di atas menjadikan pengetahuan dan keterampilan identifikasi problem esensial dapat ditransfer kepada individu/kelompok pada locus, sehingga ketika fasilitator/peneliti meniggalkan locus, mereka sudah memiliki pengetahuan dan pengalaman akan hal itu. Di sini kemudian masyarakat atau individu dapat menyadari what is the problem. Ketika locus menyadari what is the problem maka dapat dikatakan 50% keberhasilan PARTICIPATORY ACTION RESEARCH BERBASIS AGAMA tercapai. Hal ini karena sifat dan karakter masalah atau the problem yang dihadapinya mensyaratkan adanya kesadaran ini. Keadaran terhadap the problem keberagamaan yang ada merupakan dasar untuk tahapan aksi terapi atau pelaksanaan desain pemecahan masalahnya.
Dengan kesadaran akan the problem, maka tahap aksi pada gilirannya akan menempatkan locus pada posisi sadar dan meningkatakan keterlibatannya pada apa yang musti dan akan dilaksanakan sebagai problem solving. Keterlibatan ini menjadi kunci sukses untuk tingkat keberhasilan desain problem solving dan pelaksanaannya. Di samping itu dengan adanya keterlibatan locus dalam tahap ini akan membekali locus dengan pengetahuan dan keterampilan menyelesaikan masalah yang dihadapi, sehingga ketergantungan pada fasilitator/peneliti yang jumlahnya terbatas dapat teratasi sedikit demi sedikit. Di sinilah pemberdayaan masyarakat yang sesungguhnya menemukan makna dan fungsinya.

III. LANDASAN ONTOLOGIS DAN EPISTEMOLOGIS PARTICIPATORY ACTION RESEARCH BERBASIS AGAMA
Posisi ontologis PAR agak berbeda dengan posisi ontologis positivist, PAR mengasumsikan bahwa keberadaan suatu realitas faktual dan riil tidak tergantung pada observer (peneliti). Dari perspektif positivist realitas yang seperti itu seacara rasional dapat dimengerti/dipahami dan mengetahui pernyataan yang benar tentang suatu kejadian (event) dapat diperoleh melalui penelitian yang obyektif. Sikap ontologis dasar ini dikritik sebagai reduksionis dan deterministik. (Hesse, 1980). Menurut Reason, posisi ontologis PAR dengan sangat baik dituturkan oleh P. Freire:
The concrete reality for many social scientists is a list of particular facts that they would like to capture…For me, the concrete reality is something more than isolated facts. In my view, thinking dialectically, the concrete reality consists not only of concrete facts and (physical) things, but also includes the ways in winch the people involved with this facts perceive them. Thus in the last analysis, for me, the concrete reality is the connection between subjectivity and objectivity, never objectivity isolated from subjectivity. (Freire in Reason, 1994: 332)

Hal di atas dapat disebut ontologi relativis yang mempertahankan pendapat bahwa tidak ada dunia riil yang unik dan terlepas dari aktifitas mental dan bahasa manusia (Guba dan Lincoln, 1994). Pendukung posisi ontologis ini tercermin pada beberapa filosuf seperti Dewy, Habermas, Maxwell, Skolimowski dan lain-lain, di mana bagi mereka bangunan realitas tidak hanya dimanifestasikan melalui akal fikiran saja tetapi juga melalui aksi reflektif dari individu-individu maupun kelompok-kelompok.
Posisi ontologis relativis ini mempertahankan bahwa "penyelidikan manusia yang valid disyaratkan adanya partisipasi di dalam menciptakan pengetahuan baik personal maupun sosial" (Reason, 1994: 332). Dalam hal ini maka dialog menjadi kata kuncinya (key notion).
Because it is through dialogue that the subject-object relationship of traditional science gives way to a subject-subject one, in which the academic knowledge of formally educated people works in a dialectic tension with the popular knowledge of people to produce a more profound understanding of the situation (Reason, 1994:328)

Untuk dimensi epistemologi PAR tampaknya tidak ada konsensus di kalangan ilmuan, di mana terdapat perbedaan-perbedaan yang signifikan dalam hal orientasi epistemologinya sesuai dengan pendekatan action research yang beraneka ragam. Akan tetapi sebagian ilmuan melihat perbedaan tersebut tidaklah signifikan dan layak untuk diabaikan.
Ada beberapa posisi epistemologis yang berbeda dalam variasi pendekatan untuk PAR itu sendiri. Di antaranya ada yang menganjurkan jangan sampai berposisi secara radikal berlawanan dengan positivism. Mereka mendasarkan kasus ini pada fakta bahwa beberapa penelitian yang berorientasi aksi terinspirisai oleh karya Argyris dan Schön yang mencakup metode eksperimental sebagai salah satu strategi penelitian yang dipakai. Bagimanapun juga argumentasi ini tetap mengandung kelemahan. Di satu sisi para penulismya masih bingung antara metodologi dan epistemologi. Pada sisi lainya, mereka tidak dapat menangkap esensi konsep experimentation in action yang dibangun oleh Argyris dan Schön (1974), yang sesungguhnya bukan replika atau tiruan dari pengujian hipotesis tradisional atau eksperimentasi tradisional yang positifistik. Cukup dikatakan bahwa dua penulis tersebut menegaskan bahwa reflection in action dan experimentation in action dapat menjadi pondasi-pondasi baru untuk ilmu-ilmu aksi (action science) yang berbeda dengan (untuk tidak mengatakan mematahkan) "teknikalitas rasional" dari main stream positivism.
Di lapangan, para peniliti yang berorientasi aksi partisipatori yang mengadopsi suatu epistemology positivist suatu saat dengan cepat menyadari bahwa metode-metode dan desain penelitian mereka tidak kongkruen dengan paradigma ini, maka konsekwensinya mereka beralih/bergeser ke posisi post – positivism. Sesunguhnya membicarakan hal seperti ini, apakah desain PAR menggunakan positivism atau tidak, pada dasarnya akan tetap ada pertemtangan dan kritik yang mempersoalkan isu-isu epistemologis dalam melaksanakan PAR ini. Yang jelas logical positivism hanyalah salah satu teori menciptakan pengetahuan, tidak ada yang paling unik dan terbaik di antara teroi-teori ini.
Oleh karena itu beberpa peniliti PAR membuat plan/desain untuk epistemology alternative dengan tingkat yang lebih besar dari konsepsi pengetahun positivist. Yang pertama dapat disebut dengan clarifying dan positioning hubungan antara epistemology dan ideology, antara pengetahuan dan kekuaasaan.
If an inquiry is primarily engaged in service of dominant class it will not need to dialogue with people; it is not interested in their reality, but rather in imposing on them a dominant reality….If an inquiry is engaged in the service of the development of people, it will necessarily engage with them in dialogue (Reason, 1994:333)

Makna dialog dari pernyataan tersebut menekankan pentingnya menerima nilai-nilai pengetahuan popular, common sense dan kebijakan umum, serta pembelajaran intuitif.
Kedua, epistemology yang baru ini berusaha untuk memahami dunia pengalaman yang kompleks dari sudut pandang mereka yang hidup di dalamnya. Kebanyakan perhatian ditempatkan pada mengetahui pengalaman penting yang fundamental, yang dibangun dalam framework konsep eksistensial. Jika demikian, maka penelitian akhirnya dipandang sebagai sebuah studi terhadap masyarakat/individu yang dianggap sebagai obyek-obyek penyelidikan yang pasif dan tidak dipengaruhi oleh proses penelitian. Malahan, obyek penelitian dipahami sebagai sebuah situasi dunia di mana subyek-subyek manusia (peneliti) adalah actor-aktor yang memainkan peran kritis dan capable untuk melakukan refleksi diri menurut dunia mereka dan perilaku mereka di dalamnya (praxis mereka).
Ketiga, dengan ide bahwa pengetahuan eksperiensial tumbuh melalui partisipasi dengan yang lain, PAR mempercayai bahwa masyarakat bisa dan seharusnya berpartisipati di dalam mengidentifikasi problem-problem mereka sendiri, analisis-analisis dan interpretasi terhadap problem-problem tersebut dan menghasilkan pengetahuan yang relevan bagi mereka (Resaon, 1994). Jadi, partisipasi memberi pertambahan pengetahuan ekperiensial dan membantu memecah hubungan subordinasi dengan hubungan antara peneliti dengan yang diteliti menjadi hubungan subyek-subyek daripada subyek-obyek. Dengan kata lain, pengetahuan dicipta dalam interaksi antara investigator dengan responden.
Keempat, perbedaan filosofis mengenai tujuan atau target penelitian. Dari perspektif positivist, tujuan penelitian adalah untuk memproduksi, melalui hipotesis yang mapan dan teruji sebagai fakta-fakta atau bahkan hokum-hukum, sebuah eksplanasi universal (prediksi dan control) yang utamanya didasarkan pada hubungan sebab-akibat (Guba dan Lincoln, 1994). PAR menempatkan tekanannya lebih pada situasi khusus atau konteks spesifik dan kurang begitu menekankan pada hokum-hukum universal karena perhatian utamanya adalah pada menciptakan perubahan yang akan memebawa keuntungan bagi mereka yang distudi. Apalagi, tidak seperti penelitian positivist yang perhatiannya pada mendeskripsikan "what is" dan menahan diri untuk tidak menawarkan "what should be", PAR percaya bahwa apa saja usaha-usaha ilmiyah adalah value-laden (momot nilai) dan bahwa pertimbangan moral pada solusi-solusi yang ditawarkan untu problem-problem social tidak dapat dan tidak seharusnya dihindari.
Terakhir, tujuan mempertimbangkan kepentingan-kepentingan mereka yang distudi mengarahkan PAR ke tempat yang betul-betul memperhatikan implikasi-implikasi etik dari studi penelitian. Tidak seperti peneliti positivist, yang perhatian etik utamanya adalah bahwa subyek setuju untuk diteliti, tidak peduli apakah nantinya akan merugikan atau tidak. PAR meyakini bahwa menggunakan subyek untuk memperoleh keuntungan eksklusif peneliti merupakan salah satu bentuk eksploitasi. Jadi, mereka tidak hanya mengurus kepentingan mereka sendiri dari hasil penelitian dan segala implikasinya, tetapi juga memperhatikan proses penelitian yang actual apakah memberikan pengaruh terhadap individu-individu dan system yang dipelajari atau tidak.

IV. METODOLOGI
PAR is a methodology for an alternate systems for knowledge production based on the people's role in setting the agendas, participating in the data gathering and analysis, and controlling the use of the outcomes. The PAR methodology may use diverse methods, both qualitative and quantitative, to further these ends, many of which will derive from vernacular (often oral) traditions of communication and dissemination of knowledge. (P. Reason, 1994:339)

Pada umumnya isu-isu metodologis diuji dalam suatu konteks yang melampaui perdebatan steril tentang kegunaan relative antara metode-metode kuantitatif dan metode-metode kualitatif. Ketika metode-metode ini dipandang secara apriori tidak dapat diterima, kecenderungan kepada metode kualitatif tampaknya cukup koheren dengan posisi ontologism dan epistemologis yang telah didiskusikan di atas. Keterhubungan antara subyektifitas dan obyektifitas, pelibatan para partisipan, dan penangkapan yang akurat tentang kedalaman dan kompleksitas situsi khusus penelitian mungkin lebih baik untuk duiterangkan dengan metode-metode kualitatif. Apalagi, kebanyakan peneliti dengan pendektan PAR tidaklah memperhatikan dirinya terhadap keterbatasan metode kualitatif untuk menghasilkan fakta-fakta universal, ketika masalah itu menjadi perhatian utamanya.
Dalam menjaga perhatian terhadap PAR sebagai salah satu bentuk pendekatan penelitian yang mengutamakan pada empowerment (pemberdayaan), metodologi-metodologi actual, yang di dalam penelitian "ortodoks" disebut dengan desain penelitian, pengumpulan data, analisis data dan lain-lain, menempati posisi kedua setelah proses-proses penting seperti kolaborasi dan dialog yang membredayakan, memotivasi, menaikkan harga diri dan membangun soridaritas komunitas. Jadi, bentuk-bentuk akspresif seperti, sosio-drama, permainan-permainan, taria-tarian, menggambar dan melukis dan aktifitas lain yang menarik untuk membuat validasi data social yang obyektif tidak dapat dikumpulkan melalui prosses-proses ortodoks dalam survey atau penelitian lapangan. Sangat penting bagi sebuah kelompok yang tertekan/ditekan, yang seringkali merupakan bagian budaya yang terbungkam, mencoba mencari cara mengungkapkan dan kemudian mengkalim cerita mereka sendiri.
Kata kunci yang membedakan PAR dengan yang lain adalah dialog. Pendekatan dialogis ini berbeda dengan interview "tradisional" yang selama ini dikenal dan dipakai dari beberapa aspek. Interview memposisikan frame of reference sang peneliti pada posisi yang utama. Interview menwarkan satu jalan aliran informasi yang meninggalkan locus penelitian (subyek penelitian) pada posisi yang sama setelah berbagi pengetahuan, sehingga mengabaikan proses refleksi diri yang dapat menanamkan kaitan-kaitan atau hubungan-hubungan antar informasi. Sedangkan dalam pendekatan dialogis, peneliti sharing persepsi-persepsi, pertanyaan-pertanyaan,dan refleksinya dalam rangka merespon cerita (dalam bahasa jawa disebut: uneg-uneg) para participant dan menempatkannya dihadapan data-data dan tweori-teori yang berbeda-beda, mengundang partisipan untuk ikut serta dalam refleksifitas yang nyata. Sharing seperti ini menciptakan suasana kondusif untuk menhasilkan otentisitas, hubungan dua jalan antara peneliti dan partisipan, di mana belajar berkaitan langsung dengan pengujian diri dari sudut pandang kritis yang baru.
Perdebatan yang penuh semangat tentang pembatasan epistemology positivist di atas telah memunculkan beberapa model alternative metodologi penelitian yang menempatkan perhatian pada pengumoulan pengetahuan dalam konteks praktis sebagai lawan dari artificial dan setting yang eksperimental yang terkontrol. Model-model ini kadang ada yang overlapping dengan penyebutan yang bervariasi seperti fenomenologis, hermeneutic, interactional dan pendekatan srtruktural. Masing-masing model tidaklah bertentangan bahkan saling mendukung antara satu dengan yang lain.
Pendekatan fenomenologi dan hermeneutik difokuskan pada mengkonstruk system representasi dan pada makna yang diberikan pelaku terhadap perilaku dan realitas mereka. Bagaimanapun juga dua pendekatan ini tetap menggunakan model analisis interpreatsi yang berbeda. Subjectivisme dalam pendekatan fenomenologi menilai sangat tinggi terhadap pertimbangan-pertimbangan subyektif pelaku untuk disistematisasi tanpa menambahi makna-makna yang lain kecuali yang diberikan oleh pelaku sendiri. Dengan kata lain, kewaspadaan peneliti tetap konsisten dalam menolak kategori analisis yang asing bagi kategori pelaku. Obyektifitas utama peneliti adalah untuk menangkap, melalui diskripsi sebanyak mungkin, pengalaman yang hidup di dalam diri subyek, dengan suatu pandangan untuk mengelaborasi suatu presentasi tematik dari bahan-bahan yang telah dikumpulkan.
Di dalam pendekatan hermeneutic, peneliti berusaha memasuki wilayah di luar pernyataan klien dengan tujuan untuk membangun sebuah makna melalui analisis semantic terhjadap isi/kandungan bahan yang terkumpulk dari subyek. Dengan kata lain, proses penelitian di sini di arahkan untuk membangun sebuah makna yang agak berbeda dengan makna yang bersifat common sense yang diberikan oleh subyek. Yang terakhir dipandang oleh peneliti sebagai sebuah retorika di mana metafora menjadi elemen kunci bagi pengertian catatan-catatan yang telah terkumpulkan.
Pendekatan interactional dan structural tidak begitu menaruh perhatian mereka pada kontruksi makna. Malahan dengan menggunakan konsep strategi, mereka menfikuskan diri pada studi terhadap perilaku atau praktis itu sendiri. Tetapi mereka masih menggunalan cara-cara analisis interpretasi yang berbeda kalau dibandingkan dengan pendekatan fenomenologis dan hermeneutic di atas. Dalam pendekatan interactional strategi dipahami dalam term aktivitas-aktivitas dan modalitas perilaku yang digunakan untuk mencari soslusi terhadap situasi yang bermasalah atau untuk mengatasi ketidakmenentuan. Analisis terhadap materi yang terkumpulkan cenderung bersifat kongkrit dan diskriptif, dan perhatian yang sebenarnya diberikan terhadap konteks dimana interacsi social itu terjadi.
Sedangkan di dalam pendekatan structural, isu tentang kekuasaan menjadi sentral, dan strategi-strategi dpandang sebagai sebuah kontruksi hubungan hubungan social. Jadi, proses-proses sosio-cultural yang telah diidentifikasi dapat dianggap sebagai strategi-strategi yang tersebar. Ini berarti bahwa penting untuk keluar dari deskripsi terhadap fenomena supaya dapat merekontruksi tingkatan-tingkatan realitas yang lain di mana pelaku sendiri bisa jadi tidak menyadarinya.
Pembicaraan lebih lanjut tentang nilai dan ideology dalam PAR ini diarahkan menelaah kemiripannya dengan "teori kritis"; pemilahan tradisional antara ontology dan epistemology ditentang dengan kebijaksaan kepercayaan bahwa apa yang dapat diketahui itu diciptakan oleh interaksi antara peneliti dan yang diteliti. Selanjutnya, sebagaimnana kasus yang terjadi pada critical theory dan konstruktifism, pertanyaan metodologis di dalam PAR didekati dengan deal (kesepakatan yang kuat dari sensifitas dialectis. Dialog dan hubungan dialogis antara peneliti dan yang diteliti dirasakan sebagai dialectical in nature (dialectis yang alami).
PAR pada dasarnya adalah suatu bentuk non-tradisional dari penelitian yang sering dilaksanakan dengan pendektan community-based dan dilaksanakan oleh praktisi di lapangan. Kaitan antara "action" dan "research" menjelaskan hakekat dasar dari pendektan ini, yang mencakup pengujian gagasan-gagasan dalam praktek langsung sebagai cara untuk meningkatkan kondisi social dan meningkatkan pengetahuan.
PAR dilaksanakan dalam suatu spiral langkah-langkah yang teriri dari perencanaan, aksi dan evaluasi dari hasil aksi. Prosesnya dimulai dari suatu gagasan bersama bahwa harus ada peningkatan atau perubahan di dalam wilayah kerja para praktisi. Kemudian dibentuklah sebuah kelompok untuk mengklarifikasi perhatian dan minat bersama yang sudah diidentifikasi. Kelompok tersebut membuat keputusan untuk ber=kerja bersama dan memusatkan strategi peningkatannya pda "kepihatinan tematik" tersebut.
Stephen Kemmis telah membangun sebuah model sederhana untuk menggambrkan proses dalam PAR ini yang ia sebut dengan cyclical nature.

Plan – Act – Observe – Reflect –Revised Plan – Action – Act – Observe – Reflect – dst

Kalau Kemmis mengintrodusir empat langkah dalam siklus PAR, Gerald Susman mengelaborasi lebih jauh dengan mengintodusir lima langkah dalam siklus PAR. Lima alangkah itu dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.

















V. PENDEKATAN DALAM PARTICIPATORY ACTION RESEARCH BERBASIS AGAMA
Ada beberapa pendekatan yang biasa dilakukan dalam PAR pada umumnya. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah:
1. Teknis
Tujuan utama dalam pendekatan ini adalah untuk menguji suatu intervensi tertentu dalam suatu kerangka (formasi) teoritis yang sudah dispesifikasi, sementara kolaborasi antara peneliti dan praktisi bersifat teknis dan fasilitatif. Peneliti dengan pendekatan ini mengidentifikasi masalah dan intervensi tertentu, sementara praktisi dilibatkan dan mereka sepakat untuk menfgasilitasi pelaksanaan intervensi. Aliran komunikasi dalam pendekatan riset ini terjadi terutama antara fasilitator dengan kelompok, sehingga gagasan-gagasan bisa dikomunikasikan kepada kelompok. Komunikasi teknisnya dapat digambarkan sebagai berikut:

F x x



x
x

Grundy (1982:355) menskemakan pendekatan ini sebagai berikut:
Disposisi Interaksi Bentuk Aksi

Gagasan
Techne Peristiwa Pembuatan


Techne adalah keahlian riset aksi, gagasan mengacu kepada bagaimana peristiwa terjadi, peristiwa mengambil gagasan dan pikiran yang dimiliki peneliti tentang peristiwa itu dan membuatnya terjadi.
Sifat pendekatan ini adalah:
a. Dijalankan oleh seorang individu tertentu atau sebuah kelompok orang yang karena pengalamannya dan atau kualifikasi tertentu dipandang sebagai ahli atau figur otoritas.
b. Mengutamakan praktek yang efisien dan efektif.
c. Berorientasi Produk tetapi mendorong partisipasi personal oleh para praktisi dalam proses peningkatannya.
d. Menghasilkan akumulasi pengetahuan prediktif, sehingga kekuatan utamanya adalah pada validasi dan penghalusan teori-teori yang ada dan pada dasarnya bersifat deduktif. (Holter et. Al. 1993:301)
2. Praktis
Dalam pendekatan ini peneliti dan praktisi bersama-sama mengidentifikasi masalah-masalah potensial, sebab-sebab utamanya dan kemungkinan-kemungkinan intervensi yang bisa diambil (Holter et.al., 1993:301). Masalah ditetapkan setelah adanya dialog antara peneliti dan praktisi dan mencapai kesepahaman. Dengan pendekatan ini berusaha meningkatkan praktek melalui penggunaan kearifan personal dari para partisipan. (Grundy, 1982:357).
Aliran komunikasi dalam pendekatan ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Fx x




x x
Pendekatan ini memungkinkan fleksibelitas yang tidak ada dalam paradigma positivistic. Yang menonjol dalam fleksibelitas ini adalah penggunaan "interpretif" sebagai istilah utama yang mengakomodasi perspektif-perspektif interaktif dan fenomenologis. (McCutcheon dan Jung, 1990:146).
Model praktis ini mempertukarkan beberpa ukuran dan control atas interpretasi orang, komunikasi interaktif, musyawarah, negosiasi dan pemaparan yang terperinci. Tujuan pendekatan ini adalah untuk memahami praktek dan memecahkan maslah-maslah secara langsung. Para praktisi yang terlibat dalam pendekatan kolaboratif mutual ini mendapatkan suatu pemahaman baru tentang praktek mereka dan perubahan-perubahan yang terjadi bersifat lebih langgeng. Namun perubahan-perubahan itu cenderung berkaitan secara langsung dengan invidu-individu tyang terlibat secara langsung dalasm proses perubahan, dan karena itu intervensi cenderung tidak bertahan lama ketika individu-individu ini meninggalkan system atau ada migrasi masuk orang-orang baru.
PAR praktis ini mendorong pengembangan profesionalisme dengan menekankan bagian-bagian yang dimainkan oleh pertimbangan personal dalam keputusan-keputusan untuk bertindak demi kebaikan klien. Pendekatan ini menigkatkan aksi yang deliberatif dan otonom-"praxis".

Grundy menggambarkan penelitian dengan pendekatan ini sebagai berikut:


IDEA

EVENT


Menurut Grundy ada tiga jenis "mengetahui". Pertama, adalah Techne atau tahu tentang bagaimana, sebagai sumber dari aksi yang penuh keahlian. Kedua adalah episteme, sumber dari aksi ilmiyah atau "mengetahui bahwa". Jenis ketiga adalah phronesis, mengetahui "mengapa", sumber dari aksi moral yang sering disebut sebagai "pertimbangan praktis". Techne, seperti yang terjadi pada pendekatan pertama akan menghasilkan "membuat aksi" (making action), berhubungan dengan produk (product related). Sementara phronesis menghasilkan "melakukan aksi" (doing action) atau praksis, dank arena itu berpuisat pada produk (product centered). "gagasan" dalam interaksi bersifat personal, subyektif dan tidak pernah sepenuhnya terbentuk, lebih dari itu secara konstan terbentuk dan dipengaruhi tyerus oleh situasi.
3. Emansipatoris
PAR emansipotis meningkatkan praksis emansipatoris bagi para praktisi yang termibat, yakni meningkatkan kesadran kritis yang mewujud dalam aksi politik dan aksi praktis untuk meningkatkan perubahan. Ada dua tujuan dalam pendekatan ini: pertama, meningkatkan kedekatan antara maslah-maslah actual yang dihadapi oleh para praktisi dalam suatu setting dan teori yang duganakan untuk menjelaskan dan memecahkan masalah tersebut. Kedua, membantu para praktisi dalam mengidentifikasi dan mengungkapkan maslah-maslah yang fundamental dengan memunculkan dan memperkuat kesadaran kolektif.
Ketiga pendekatan atau model PAR ini berbeda bukan pada metodologinya, tetapi terutama pada asumsi-asumsi dasar dan cara pandang dari para pertisipan yang menyebabkan adaanya variasi dalam penggunaan metodologi tersebut.
Perbedaan-perbedaan dalam hubungan di antara partisipan dan sumber serta cakupan dari "gagasan" dapat ditelusuri dari masalah kekuasaan. Dalam model teknis, "gagasan"lah meng menjadi sumber kekuasaan untuk bertindak dan seringkali kali karena gagasan itu melekat pada peneliti maka penelitilah yang mengontrol kekeuasaan dalam proyek penelitian. Dalam model praktis, kekuasaan dibagi-bagi di antara kelompok partisipan secara sejajar, tetap[I penekannya pada kekuasnaan individu untuk betindak. Dalam emansipatoris, kekuasaan seluruhnya ada di dalam kelompok, bukan pada peneliti dan bukan pula pada individu partrisipan dalam kelompok.

VI. BEBERAPA PRINSIP DASAR DALAM PAR
1. Kolaborasi
Focus kolaborasi mencakup interaksi antara seorang peneliti atau tim peneliti dan seorang paraktisi atau sekolmpok praktisi. Para praktisi adalah individu-individu yang mengenal lapangan atau wilayah kerja dari perpspektif internal menyangkut sejarah dari perkembangan wilayah kerja, pengetahuan tentang bagaimana orang-orang lain di wilayah itu mengharap[kan sesuatu bisa terwujud dan mengetahui bagaimana sesuatu bisanya dilakukan. Peneliti merupakan orang luar yang memiliki keahlian dalam teori dan riset tetapi pengetahuannya terbatas berkaitan dengan wilayah setempat. Kolaborasi kedua kelompok bisa bervariasi dari hanya bersifat periodic menjadi kolaborasi berkepanjangan sepanjang studi.
Peneliti mungkin bukan seorang ahli dari luar dan seringkali dipandang sebagai "rekan kerja" dalam pelaksanaan penelitian bersama dan untuk para praktisi. Kelompok ini bisa diperluas untuk melibatkan sebanyak mungkin orang yang akan mendapatkan pengaruh darui praktek-praktek yang sedang diteliti.
2. Pemecahan Masalah
Pada dasarnya penelitian dengan pendektan ini adalah alat untuk memecahkan masalah-masalah yang dialami oleh orang dalam kehidupan professional, komunitas atau pribadi mereka. Masalah itu dibatasi dalam kaitan dengan suatu situasi dan setting yang spesifik yang ditentukan oleh kelompok, komunitas atau organisasi. Berbagai metode pengumpulan data dapat digunakan untuk mengidentifikasi masalah tersebut,misalnya: observasi, interview, kuesioner dan lain-lain, tetapi yang paling utama adalah dialog.
3. Perubahan dalam Praktek
Hasil-hasil dan pikiran-pikiran yang diperoleh dari penelitian tidak boleh hanya memiliki arti penting secara teoritis tetapi juga membawa kepada peningkatan dalam wilayah masalah-masalah yang diidentifikasi. Perubahan dalam praktek akan bergantung pada hakekat dari masalah yang diidentifikasi
4. Pengembangan Teori
Hasil-hasil penelitian dengan PAR ditujukan untuk membantu peneliti dalam mengembangkan teori-teori baru atau memperluas teori-teori ilmiyah yang ada. Melalui proses dalam PAR para praktisi mampu mengembangkan sutau justifikasi yang beralasan atas kerja mereka. Bukti yang dikumpulkan dan refleksi kritis yang terjadi membantu menciptakan suatu "rationale" yang maju dan teruji secara kritis bagi daerah praktek dari para praktisi.
5. Hasil Publik
Teori-teori dan pemecahan masalah yang dihasilkan PAR harus dipaparkan secara public kepada para partisipan lain dan juga kepada komunitas yang lebih luas yang mungkin memiliki ketertarikan pada settting kerja atau situasi tersebut.

VII. PENUTUP
Bagimana sesungguhnya model pengabdian kepada masyarakat bagi PTAI yang salah satu fungsinya adalah sebagai agent of change, dengan pengabdian yang betul-betul bermakna pengabdian? Ini penting untuk menghindarkan diri dari pseudo-pengabdian, yang dibalik itu adalah semata-mata untuk kepentingan diri peneliti bukan kepentingan masyarakat. Satu hal esensial dari pengabdian dengan makna yang sesungguhnya adalah pemberdayaan. Dengan kata ini, masyarakat dapat memiliki kekuatan di dalam dirinya untuk memandang dirinya dan memecahkan masalah-maslah yang dihadapinya. Dengan kata itu pula masyarakat semakin mampu menjauh dari ketergantungan kepada peneliti yang sbenarnya adalah orang luar. Untuk menjawab itu tampaknya penelitian pemberdayaan dan partisipatif menjadi salah satu jawabannya. Wallahu a'lam bisshowab.

REFERENSI
1. Rory O'Brien, An Overview of the Methodological Approach of Action Research, 1998.
2. Kamal Fahmi, Participatory Action Research (PAR): A View From The Field, Thesis,  
    McGill University, 2003
3. Don K Marut, Riset Aksi Partisipatoris: Riset pemberdayaan dan Pembebasan,
    Yogyakarta, Insist Press, 2004.
4. http://www.web.net/~robrien/papers/arfinal.html
5. http://depts.washington.edu/ccph/pdf_files/syllabus_2005_final.pdf.
6. Gerrit Huizer, Participatory action research and people's participation: Introduction
    and Case Studies, 1997 dalam http://www.sddimension.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar